Dalil zakat dengan uang Boleh dikeluarkan dengan yang senilai
Dalil zakat dengan uang Boleh dikeluarkan dengan yang senilai, misalnya dengan uang dan pakaian ni adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, pendapat Imam Bukhari, salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Di antara dalil yang digunakan:
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu,
مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ
“Barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah (unta betina berumur 4 tahun) sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqoh (unta betina berumur 3 tahun); maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham.
Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat hiqqoh sedangkan dia tidak memiliki hiqqoh namun dia memiliki jadza’ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia diberi dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah terkena kewajiban zakat hiqqoh namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun (unta berumur 2 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham.
Baca juga : zakat fitrah online di yayasan Pijar mulya Pati Jawa tengah Indonesia
Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqoh; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhod (unta betina berumur 1 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu makhod, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.“
Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang senilai dengannya.Mu’adz radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman,
ائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ
“Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian pakaian atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/ bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.” Hadits ini menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat dengan sesuatu yang senilai, bukan dengan gandum sesuai ketetapan.
Pendapat rojih (terkuat)
Yang lebih tepat dalam masalah ini adalah menggabungkan di antara dalil-dalil dari kedua kubu di atas. Pada asalnya, zakat harus dibayarkan sesuai dengan jenis yang disebutkan dalam dalil. Namun jika terpaksa atau karena adanya kebutuhan dan pertimbangan maslahat, maka diperbolehkan membayarkan zakat dengan nilainya (uang atau yang lainnya). Demikian yang jadi pendapat pilihan Ibnu Taimiyah dalam fatawanya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya, “Bagaimana dengan hukum orang yang mengeluarkan zakat dengan qimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat semisal uang)? Karena jika dikeluarkan dengan qimahakan lebih bermanfaat untuk orang miskin. Seperti itu boleh ataukah tidak?”
Ibnu Taimiyah menjawab, “Mengeluarkan zakat dengan qimah dalam zakat, kafaroh dan semacamnya, maka telah ma’ruf dalam madzhab Malik dan Syafi’i akan tidak bolehnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan. Adapun Imam Ahmad rahimahullah dalam salah satu pendapat melarang mengeluarkan zakat dengan qimah. Namun di kesempatan lain Imam Ahmad membolehkannya.
Ada sebagian ulama Hambali mengeluarkan perkataan tegas dari Imam Ahmad dalam masalah ini dan ada yang menjadikannya menjadi dua pendapat.
Pendapat terkuat dalam masalah ini: mengeluarkan zakat dengan qimah (nilai) tanpa ada kebutuhan dan maslahat yang lebih besar jelas terlarang. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan zakat dengan dua unta atau 20 dirham, dst dan beliau tidak beralih pada uang seharga barang-barang tadi. Karena jika kita nyatakan boleh secara mutlak pengeluaran zakat dengan uang senilai, maka nanti si pemberi zakat akan mengeluarkan dari yang jelek dan akan memudhorotkan si penerima zakat dalam perhitungan.
Karena zakat dibangun atas dasar ingin menyenangkan orang yang butuh. Kita dapat melihat hal ini dari besarnya zakat yang dikeluarkan dan jenis zakat tersebut.
Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqoh; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhod (unta betina berumur 1 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu makhod, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.“
Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang senilai dengannya.Mu’adz radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman,
ائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ
“Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian pakaian atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/ bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.” Hadits ini menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat dengan sesuatu yang senilai, bukan dengan gandum sesuai ketetapan.
Pendapat rojih (terkuat)
Yang lebih tepat dalam masalah ini adalah menggabungkan di antara dalil-dalil dari kedua kubu di atas. Pada asalnya, zakat harus dibayarkan sesuai dengan jenis yang disebutkan dalam dalil. Namun jika terpaksa atau karena adanya kebutuhan dan pertimbangan maslahat, maka diperbolehkan membayarkan zakat dengan nilainya (uang atau yang lainnya). Demikian yang jadi pendapat pilihan Ibnu Taimiyah dalam fatawanya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya, “Bagaimana dengan hukum orang yang mengeluarkan zakat dengan qimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat semisal uang)? Karena jika dikeluarkan dengan qimahakan lebih bermanfaat untuk orang miskin. Seperti itu boleh ataukah tidak?”
Ibnu Taimiyah menjawab, “Mengeluarkan zakat dengan qimah dalam zakat, kafaroh dan semacamnya, maka telah ma’ruf dalam madzhab Malik dan Syafi’i akan tidak bolehnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan. Adapun Imam Ahmad rahimahullah dalam salah satu pendapat melarang mengeluarkan zakat dengan qimah. Namun di kesempatan lain Imam Ahmad membolehkannya.
Ada sebagian ulama Hambali mengeluarkan perkataan tegas dari Imam Ahmad dalam masalah ini dan ada yang menjadikannya menjadi dua pendapat.
Pendapat terkuat dalam masalah ini: mengeluarkan zakat dengan qimah (nilai) tanpa ada kebutuhan dan maslahat yang lebih besar jelas terlarang. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan zakat dengan dua unta atau 20 dirham, dst dan beliau tidak beralih pada uang seharga barang-barang tadi. Karena jika kita nyatakan boleh secara mutlak pengeluaran zakat dengan uang senilai, maka nanti si pemberi zakat akan mengeluarkan dari yang jelek dan akan memudhorotkan si penerima zakat dalam perhitungan.
Karena zakat dibangun atas dasar ingin menyenangkan orang yang butuh. Kita dapat melihat hal ini dari besarnya zakat yang dikeluarkan dan jenis zakat tersebut.
Adapun mengeluarkan zakat jika terdapat hajat (kebutuhan), maslahat dan keadilan, maka boleh saja dikeluarkan dengan qimah (sesuatu yang senilai). Semisal seseorang menjual kebunnya atau tanamannya dan memperoleh uang dirham. Lalu ia keluarkan zakat hasil pertanian dengan dirham tadi, ini boleh. Ia tidak perlu bersusah payah membeli buah atau gandum sebagai zakatnya. Karena seperti ini pun telah sama-sama menyenangkan si miskin. Bahkan ada nash dari Imam Ahmad akan bolehnya hal ini.
Contohnya lagi, bagi yang memiliki lima ekor unta, maka ia punya kewajiban berzakat dengan seekor kambing. Namun sayangnya, kala itu tidak ada seorang pun yang mau menjualkan seekor kambing untuknya. Akhirnya, ia mengeluarkan zakat dengan sesuatu yang senilai (qimah). Jadi ia tidak perlu bersusah payah bersafar ke kota lain untuk membeli kambing.
Atau contoh lain, seseorang yang berhak menerima zakat (semisal fakir miskin) meminta agar diberikan sesuatu yang senilai dengan harta zakat, lalu mereka diberi seperti itu atau ini dirasa lebih bermanfaat bagi orang miskin, maka itu boleh.
Sebagaimana dinukil dari Mu’adz bin Jabal bahwa ia berkata pada penduduk Yaman, “Berikan padaku pakaian atau baju yang mudah dan baik menurut kalian yang nanti akan diserahkan pada orang Muhajirin dan Anshor di Madinah.” Ada yang mengatakan riwayat tadi membicarakan masalah zakat dan ada yang mengatakan pada masalah jizyah (upeti).” Demikian perkataan Ibnu Taimiyah.
Dari penjelasan Ibnu Taimiyah ini bukan berarti kita bermudah-mudahan mengeluarkan zakat dengan sesuatu yang senilai semisal dengan uang. Namun tetap asalnya zakat dikeluarkan sesuai yang disebutkan dalam dalil.
Kalau diperintahkan dikeluarkan dengan satu ekor kambing, maka demikian penunaiannya, dan seterusnya. Tidak boleh beralih ke sesuatu yang senilai (qimah) kecuali jika dalam keadaan darurat, hajat (dibutuhkan), atau ada maslahat yang jadi pertimbangan.
Sumber : Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Lulusan S-1 Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dengan terdapat perbedaan perndapat tentang pembayaran zakat fitran menggunakan uang.
Ada yang membolehkan, dan ada yang tidak.Tapi keduanya memiliki dasar dan dalil masing-masing.
Dikutip dari nu.or.id, Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah penunaian zakat fitrah dengan uang.
Dalil zakat dengan uang Boleh dikeluarkan dengan yang senilai pendapat yang membolehkan.Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).
Dalil mereka antara lain firman Allah SWT ,”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang).
Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang.
(Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4).
Baca juga : bayar zakat online
Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi).
Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).
Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad).
Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295)
Karena ada dua pendapat yang berbeda, maka kita harus bijak dalam menyikapinya.
Ulama sekaliber Imam Syafi’i, mujtahid yang sangat andal saja berkomentar tentang pendapatnya dengan mengatakan, ”Bisa jadi pendapatku benar, tapi bukan tak mungkin di dalamnya mengandung kekeliruan. Bisa jadi pendapat orang lain salah, tapi bukan tak mungkin di dalamnya juga mengandung kebenaran.”
Dalam masalah ini, sebagai orang awam (kebanyakan), kita boleh bertaqlid (mengikuti salah satu mazhab yang menjadi panutan dan diterima oleh umat). Allah tidak membebani kita di luar batas kemampuan yang kita miliki. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al-Baqarah [2]: 286).
Sesungguhnya masalah membayar zakat fitrah dengan uang sudah menjadi perbincangan para ulama salaf, bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja.
Imam Abu Hanifah, Hasan Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri, bahkan Umar bin Abdul Aziz sudah membincangkannya, mereka termasuk orang-orang yang menyetujuinya.
Ulama Hadits seperti Bukhari ikut pula menyetujuinya, dengan dalil dan argumentasi yang logis serta dapat diterima.
Menurut NU, membayar zakat fitrah dengan uang itu boleh, bahkan dalam keadaan tertentu lebih utama.
Bisa jadi pada saat Idul Fitri jumlah makanan (beras) yang dimiliki para fakir miskin jumlahnya berlebihan.
Karena itu, mereka menjualnya untuk kepentingan yang lain. Dengan membayarkan menggunakan uang, mereka tidak perlu repot-repot menjualnya kembali yang justru nilainya menjadi lebih rendah. Dan dengan uang itu pula, mereka dapat membelanjakannya sebagian untuk makanan, selebihnya untuk pakaian dan keperluan lainnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Tags : Kisah hikmah sedekah Zakat
Yudi hartoyo
Admin Yayasan yatim,dhuafa
blogger,online sejak 2011 di bisnis online dan offline,adapun Hikmahdanhikmah.com ini untuk Support website resmi ;yayasanpijarmulia.com
- Yudi hartoyo
- Yayasan Pijar Mulya Pati d/a Desa Sriwedari Dusun Pagak RT 03 RW 03 (belakang masjid Pagak) kec.jaken Jawa tengah 59184
- temandalamtaqwa@gmail.com
- +6285 2680 70123
Posting Komentar